A Queen With A Broken Heart

Chapter 3

James hanya mampu membulatkan matanya, merasa kaget. Snow White sudah berdiri menunggunya tetapi bukan itu yang membuat James kaget. Sore itu penampilan Snow White agak berbeda dibanding biasanya. Ehm… lebih cantik, mungkin?

“Kau terlambat!”

Yah, ucapan sinisnya tidak berubah rupanya.

“Maafkan aku milady-“

“Ayo” Snow White melangkah pergi, tidak berminat mendengarkan alasan James. James terburu mengejar Snow White.

“Jadi, apa yang ingin kau lihat di luar istana ini?”

“Entahlah,” James mengangkat bahu sementara Snow White memutar matanya. “Mungkin kau bisa membawaku ke toko pita berkualitas tinggi?”

Seriously? Toko pita? Pangeran sepertimu tidak bisa mendapatkan pita di kerajaanmu sendiri?” Snow White mencemooh.

James menyeringai, “Bukankah kerajaan ini terkenal dengan produksi kain berkualitas tinggi?”

Snow White mendengus dan langsung berjalan ke satu arah, terlalu malas untuk meladeni percakapan Sang Pangeran. James hanya menatap Snow White yang melangkah cepat di depannya, gadis itu berhenti sesaat dan menoleh kearahnya, “Cepat Charming! Hari keburu gelap kalau kau berjalan lambat seperti itu!”

James menghela napas berat. Sepertinya sulit sekali memenangkan hati gadis ini.

.

.

.

Mereka berdua berdiri di depan sebuah toko yang lumayan rapi. Toko itu terbuat dari kayu, bukan dari batu ataupun bata seperti toko-toko yang ada di sekelilingnya. Akan tetapi toko itu memiliki jendela cukup besar yang memajang pita-pita berkilau dan kain-kain yang indah. James memandang Snow White dengan penasaran.

“Percayalah, toko ini menjual pita dengan kualitas tinggi dan merupakan favorit para gadis-gadis di kota ini.”

James mengangguk sementara Snow White melangkah masuk ke toko. Saat pintu dibuka suara bel pintu terdengar, menandakan kepada penjaga toko bahwa ada pelanggan yang masuk ke tokonya. Benar saja, sedetik kemudian seorang wanita berwajah ramah muncul dari belakang.

“Selamat datang! Ah, tuan puteri Snow White rupanya. Mari silahkan masuk!” ujar wanita itu ramah. Snow White membalas senyum wanita itu dengan senyum yang cantik, James melongo melihat senyum Snow White. Baru kali ini pemuda itu melihat senyum gadis itu. Sayang senyum itu bukan ditujukan untuk dirinya melainkan untuk penjaga toko ini.

“Dia ingin membeli pita dari toko ini, nyonya.” Snow White memberi isyarat dengan dagunya. James tersadar dari lamunannya tepat pada waktunya.

Nyonya penjaga toko memandang James. “Ah ya tentu saja. Untuk seseorang yang spesial kukira?”

“Begitulah.” James membalas santai.

Pemilik toko membawa James dan Snow White ke arah pita-pita berkualitas tinggi. Gulungan-gulungan pita yang demikian banyaknya dengan beraneka macam warna dipasang memenuhi sisi dinding.

“Silahkan pilih warna apapun yang anda inginkan,” ujar si pemilik toko.

James mengerutkan dahinya. Pita di toko ini sangat banyak dan punya berbagai macam warna pula. Bagaimana ia harus memilih pita yang sesuai?

“Ho ho, baru pertama kali membeli pita rupanya.” kekeh sang pemilik toko. Snow White juga ikut tertawa kecil.

“Yah, mohon maaf. Aku tidak ahli dalam hal beginian,” James menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemilik toko mengangguk paham.

“Kalau boleh aku tahu, apa warna rambut dan warna mata gadis yang akan kau berikan pita ini, Tuan?”

James berpikir sejenak, “Warna rambutnya bagaikan sinar matahari dengan warna bola matanya bagaikan warna langit yang cerah.”

Pemilik toko dan Snow White melihat ke arah jejeran pita yang dipajang dan meraih warna pita yang sesuai. Pemilik toko memilih pita berwarna biru muda seperti biru langit sementara Snow White memilih pita berwarna biru yang sedikit lebih tua dibanding yang sebelumnya.

“Mungkin warna pita yang sewarna dengan bola matanya akan sesuai jika dipasang di rambutnya,” ujar Snow White. Pemilik toko mengangguk setuju.

James memandang serius dua pita yang ditawarkan dan memilih pita yang dipilih oleh penjaga toko. “Kurasa warna matanya sewarna dengan warna pita ini,”

Pemilik toko mengangguk dan menarik pita itu hingga panjang tertentu dan mengguntingnya. “Ada lagi yang anda inginkan?”

“Yah, aku perlu satu pita lagi dengan warna yang sama.”

Pemilik toko kembali menarik pita itu dan mengguntingnya. James mengarahkan matanya melihat-lihat pita yang tersisa. “Silahkan jika anda menginginkan pita berwarna lain?” ujar pemilik toko.

Snow White berjalan ke arah yang lain dan memandang deretan kain berkualitas tinggi yang berjejer. Tangannya mengusap halus kain tersebut, merindukan kehalusan sutra dan kain berkualitas tinggi. Dulu saat ayahnya masih hidup kain berkualitas tinggi bukanlah hal yang langka karena semua gaunnya pastilah terbuat dari kain berkualitas tinggi dan halus. Sekarang setelah ia menggunakan gaun katun biasa Snow White jadi sadar betapa mewahnya kehidupannya yang dulu. Jujur ia merindukan semua kemewahan itu, tapi sekarang Snow White sadar. Rakyatnya tidak menggunakan sutra dan mereka masih mampu bertahan hidup, sebagai seorang putri kerajaan Snow White harus mencontoh rakyatnya. Well hukuman dari Ratu bukanlah hal yang buruk sebenarnya. Ia bisa mencoba lebih memahami rakyatnya.

“Ayo! Aku sudah selesai.”

Snow White tersadar dari lamunannya, James menenteng kantung kertas berisi pita yang baru dibelinya. Penjaga toko melemparkan senyum yang terlalu girang. Snow White jadi merasa aneh.

“Terima kasih! Silahkan mampir lagi tuan puteri!” ujar pemilik toko. Snow White melempar senyum terima kasih.

“Semoga sukses!” ujar pemilik toko lagi yang kali ini dijawab dengan acungan jempol dari James. Snow White merasa penasaran tapi memilih tidak bertanya.

“Baiklah, jadi apa lagi?” Snow White memandang James. Mereka berdua sudah di luar toko.

“Kau puterinya,” James memberi isyarat terserah pada Snow White. Jadilah mereka berdua berjalan-jalan mengelingi kota itu.

Kota ini sangat ramah, setidaknya begitulah pikir James. Para penduduk kota yang mengenal puteri kerajaan mereka menyapa ramah, beberapa bahkan memberikan buah gratis atau penganan kecil lainnya. Tak lupa Snow White membalas senyum ramah pada mereka semua. James entah mengapa merasa senang setiap kali gadis itu tersenyum.

Mereka berdua mampir ke berbagai toko, berbincang dengan pemilik toko atau sekedar berhenti dan menanggapi sapaan rakyat. Beberapa anak kecil bahkan tidak sungkan menarik tangan Snow White ke berbagai arah, meminta gadis itu bermain atau sekedar mencicipi kue yang dibuat untuk teman minum teh.

Saat ini James dan Snow White sedang duduk di pinggir alun-alun kota, menyantap roti hangat yang diberikan secara gratis oleh tukang roti. Roti tersebut gurih dan nikmat, enak sekali dimakan hangat-hangat.

“Kapan Anda pulang?”

James melirik Snow White, “Wow, terang-terangan sekali anda mengusirku?”

“Hanya mau tahu saja,” gumam gadis itu. James memilih tidak menjawab.

“Ada satu hal yang membuatku penasaran,”

Snow White melirik James dan kembali memakan roti miliknya, “Apapun pertanyaan itu akan lebih baik kalau kau tidak pernah menanyakannya.”

James tampak tidak puas akan tetapi Snow White keburu memotong, tampaknya sudah tahu hal yang ingin ditanyakan oleh James. “Apapun itu semua yang kulakukan ada alasannya.”

“Dan alasan itu adalah?” James mengejar.

Snow White terdiam sesaat, “Untuk menebus dosaku,” gumamnya enggan.

James mampu melihat bahwa Snow White berpura-pura bersikap seperti biasa, akan tetapi gadis itu memiliki beban yang lebih berat daripada yang terlihat.

Snow White bangkit dari duduknya secara tergesa, “Tak ada hubungannya denganmu. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hari tambah gelap,”

James memandang punggung Snow White yang semakin menjauh. Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?

.

.

.

Snow White melangkah tidak tentu arah, pikirannya tidak fokus. Pikiran gadis itu berkelabat memikirkan Ibunya, Ayahnya dan Grunhilde- ibu tirinya.

Langkah Snow White terhenti, wajahnya menengadah menatap langit. Terlihat olehnya bintang dan dirinya baru sadar kalau hari telah gelap. Snow White mendesah dan terduduk di bangku kayu. Sepertinya posisinya sekarang berada di sisi lain kota yang jauh dari istana tetapi Snow White merasa malas untuk pulang ke Istana.

Entah berapa lama gadis itu terduduk di sana hingga akhirnya ia merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya. Snow White menoleh dan mendapatkan James dengan napas terburu dan pucat.

“Kemana saja kau! Pergi begitu saja sampai gelap begini dan belum kembali ke istana!”

Snow White memandang heran.

“Kau tidak sadar? Sekarang sudah malam! Jalanan sudah sepi dan saat aku kembali ke istana para pelayan bilang kau belum kembali!”

Snow White baru tersadar, pantas saja langit terlihat sangat gelap. Gadis itu malah menyenderkan punggungnya ke senderan bangku kayu yang panjang. James mendudukkan diri di sebelahnya.

“Bagaimana kau bisa menemukanku?”

“Entahlah,” James mengangkat bahu. “Katakan saja aku pasti bisa menemukanmu kalau aku mau,” ujarnya sambil memandang Snow White dengan serius. Gadis itu memandang heran kepada James, sementara pemuda itu tampak tersipu malu mendengar kata-katanya sendiri.

“Yah, terima kasih sudah menemukanku.” Snow White melangkah pergi.

“Hei! Mau kemana?”

“Pulang ke istana.”

“Hei! Kau ini benar-benar tidak manis sama sekali!” James berteriak kesal tapi Snow White pura-pura tak mendengar.

.

.

.

Pasangan muda-mudi itu akhirnya sampai di istana. James menahan Snow White ketika gadis itu pergi menjauh untuk kembali ke kamarnya. Snow White menunggu James berbicara.

“Besok aku akan pulang ke kerajaanku,”

Snow White hanya mengangguk pelan.

“Apa kau tidak mau pergi denganku?” Ajakan yang berani dari James, wajah pemuda itu memerah sementara Snow White hanya memandang datar.

“Aku tidak bisa pergi dari sini,”

“Kau tidak perlu menjadi pelayan disini,” James berkeras.

“Aku punya alasanku sendiri, karena itu jangan memaksaku.” Snow White memandang tanah dengan sedih.

“Alasan apa?” James mengejar tapi gadis itu hanya terdiam. Melihat itu James menunduk, tidak tega untuk mendesak Snow White.

Gadis itu memandang lurus kepada James. “Semoga perjalanan anda besok menyenangkan, Prince Charming,”

Snow White melangkah cepat sementara James memandang gadis itu. Pemuda itu berkacak pinggang, “Aku punya nama Puteri, dan namaku James!”

James terlihat sangat jengkel tapi dalam hatinya pemuda itu mengakui kalau ia tidak keberatan dipanggil Prince Charming oleh Snow White.

.

.

.

Esok paginya, James benar-benar pergi dari sana. Setelah selesai sarapan, James berkemas dan berpamitan, tak lupa mengucapkan selamat tinggal kepada Snow White.

“Yakin kau tak mau ikut denganku?” James memastikan, akan tetapi Snow White tetap bergeming untuk tinggal disana.

“Kalau kau mau pergi dari sini, kau bisa datang kepadaku.”

Snow White mendengus, “Dan bagaimana caranya aku menemukanmu yang sedang berkeliling di dunia luar sana?”

“Kau tak perlu mencariku, akulah yang akan menemukanmu,” James menatap dalam Snow White. Dan baru kali ini Snow White menyadari mata pemuda itu yang berwarna abu, bagaikan menghipnotis gadis itu.

“Dimanapun kau berada, aku pasti akan menemukanmu,” dengan berani James meraih rambut Snow White dan menyelipkan rambut itu ke bagian belakang telinganya. “Pasti!” bisiknya meyakinkan. Snow White hanya mampu menunduk, wajahnya memerah dan entah mengapa terasa panas.

“Jangan menggodaku!” Snow White mendesis walau wajahnya memerah.

“Aku memang sedang menggodamu.” James mengaku.

Snow White melotot, “Kau pikir kau bisa menggodaku? Dasar playboy! Aku jadi kasihan dengan gadis yang kau belikan pita itu!”

James terbengong mendengar makian Snow White sebelum akhirnya teringat sesuatu dan tertawa keras.

“A-apa yang kau tertawakan?!”

James menyeka matanya yang berair karena terlalu banyak tertawa. Setelah menguasai diri ia kembali melontarkan godaannya, “Kau cemburu?”

Snow White merasakan wajahnya memanas, “A-aku tidak cemburu!”

“Kau cemburu!”

“Tidak!”

“Iya!”

“Tidak!”

“Iya!”

“Tidak!”

“Tidak!”

“Iya!”

Snow White terpaku sementara James menyeringai usil. Ingin sekali gadis itu menampar pangeran kurang ajar yang ada di hadapannya.

“Pulang sana!” sembur Snow White sementara James masih tertawa keras.

“Maaf, maaf. Tapi kau lucu sekali sih!”

Snow White memasang wajah tidak suka, James memasang cengirannya yang biasa. “Pita-pita itu kubeli untuk ibuku dan adik perempuanku yang sebentar lagi akan menikah. Jadi wajar kan kalau mereka adalah wanita yang spesial untukku?”

Snow White masih memasang wajah cemberut, tapi entah kenapa hatinya terasa lega. Kenapa, ya?

“Tapi aku memang membeli sesuatu untuk gadis yang kuanggap spesial,”

DEG!

Tiba-tiba hati Snow White terasa berat mendengar hal itu. Saat Snow White masih terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa tiba-tiba saja James telah memasangkan sebuah pita ke rambut Snow White.

“Kurasa pita yang spesial cukup untuk seorang gadis yang spesial,” ujar James lembut. Snow White memandang James yang tersenyum. Biasanya pemuda itu selalu memberikan cengirannya yang menyebalkan, tapi kali ini sang pangeran memberikan senyum yang benar-benar lembut untuk sang putri.

Tangan Snow White hendak meraih pita yang baru saja dipasangkan oleh James tapi sang pangeran menahan tangan gadis itu. “Jangan dilepas. Kurasa warna itu cocok untuk rambutmu yang berwarna hitam,” puji James. Snow White bertambah penasaran, memangnya apa warna pita yang James pasangkan di kepalanya?

James meraih tali kekang kuda miliknya dan memanjat naik. Ia memandang Snow White dari atas kudanya, “Ingat! Pita itu harus selalu bersamamu. Suatu saat aku akan datang lagi dan meminta kembali pita itu.”

Snow White cemberut, “Kalau begitu bawa saja pita ini! Kenapa malah jadi dititipkan kepadaku?”

James membuang muka dari Snow White, wajahnya memerah. “Bukankah harusnya kau yang lebih tau?!”

Snow White bertambah penasaran. Pemuda ini kenapa sih?

James mengulurkan telapak tangannya ke arah sang putri, secara refleks Snow White meletakkan tangannya di telapak tangan James. Sang pangeran mencium telapak tangan Snow White secara cepat dan kembali tegak di atas kudanya. Snow White hanya bisa terkejut.

“Jangan lupa. Aku pasti akan menemukanmu tak peduli di mana kau berada.” Setelah mengatakan itu James langsung memacu kudanya yang diikuti oleh pelayannya. Snow White terus menatap kepulan debu yang diakibatkan oleh kuda yang ditunggangi kedua orang itu hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Snow White meraih pita yang dipasangkan James di kepalanya, pita itu terbuat dari bahan sutra berkualitas tinggi. Akan tetapi bukan itu masalahnya. Masalahnya warna pita itu adalah warna merah bagaikan warna darah.

Wajah Snow White memerah.

Dalam budaya kerajaannya, jika seorang pemuda memberikan sebuah pita berwarna merah dari bahan sutra kepada seorang gadis itu berarti adalah sebuah lamaran.

Snow White kembali memandang arah James pergi. Masa iya prince charming itu melamar dirinya?

to be continued


A/N: Ternyata ada yang baca cerita ini….kaget banget pas sohib kentalku komen dan nanyain lanjutan cerita ini. Yowiss… sudah ku apdet ya cerita lanjutannya. Lanjutannya In Shaa Allah dalam waktu dekat. Kalau lagi senggang dari target kejaran akhirat di bulan Ramadhan yaaa 😀

3 thoughts on “A Queen With A Broken Heart

  1. Wkwkwkw.. Lanjut aja Dit.. Dibaca atau tidak yang penting terus asah karya dikau.. Udah makin oke kok makin ke sini dibanding tulisanmu jaman dulu banget. Tinggal dipublish aje laaahh 😁👍👍

    Like

Leave a comment