A Queen With A Broken Heart

Chapter 4

“Tuan puteri,”

Snow White menoleh dan melihat seorang pengawal yang memanggilnya barusan.

“Yang Mulia Ratu meminta anda untuk menemuinya di kamarnya,”

Snow White mengangguk paham.

“Perlukah saya menemani anda hingga-“

“Tidak perlu, aku segera menemui Ratu,” Snow White menolak cepat. Pengawal hanya mengangguk paham dan pergi dari sana.

Snow White menghembuskan napas, langkahnya terasa berat, tapi ia harus menemui Ratu. Entah apa yang diinginkan Ratu dari dirinya. Apa ia harus membersihkan kamar lain lagi? Atau mungkin tambahan tugas menyetrika seluruh koleksi gaun milik sang ratu? Snow White tidak berani membayangkan.

Dan disinilah gadis itu berada, di depan pintu kamar pribadi mendiang ayahnya dan ibunya, yang sekarang menjadi kamar pribadi Grunhilde. Snow White mengetuk pelan pintu kamar tersebut dan terdengar seruan masuk dari Ratu. Sang puteri masuk dengan perlahan.

“Snow White puteriku, kau tampak lelah,” Grunhilde menyambut Snow White dan memeluk gadis itu. Snow White membalas pelukan Ratu dengan kaku.

“Kau tampak kurus,” Ratu tersenyum sedih. “Aku baik-baik saja, terima kasih atas perhatian Ratu.” Snow White mencoba tersenyum, tapi entah mengapa senyumnya terasa kaku. Ratu mempersilahkan Snow White untuk duduk di kursi kecil dengan meja yang telah tersedia teh hangat dan penganan kecil.

“Aku memanggilmu kesini karena ada hal yang ingin kukatakan,” Grunhilde menuangkan teh hangat ke cangkir dan menyerahkan cangkir itu kepada Snow White. Snow White menghirup aroma teh tersebut sebelum akhirnya meminum pelan.

“Kau pasti kenal dengan Pangeran James bukan? Yang baru saja meninggalkan istana kita,”

Snow White hanya mengangguk kaku.

“Kemarin malam Pangeran James meminta izin kepadaku untuk membiarkan ia membawamu pergi bersamanya.”

Snow White mendadak kaku, akan tetapi Grunhilde melanjutkan dan mengabaikan sikap kaku Snow White. “Aku katakan pada Pangeran James, tentu saja, bahwa kaulah yang harus memberi jawaban. Apapun jawabanmu aku akan menerimanya. Tapi…”

Grunhilde menatap dalam kepada Snow White.

“… mengapa kau menolak untuk pergi bersamanya?”

Gadis itu terdiam, akan tetapi Grunhilde terus menunggu.

“Aku hanya…”

Grunhilde masih menunggu.

“Aku hanya… tidak mau pergi dari rumahku ini,” ujar Snow White kaku.

“Puteriku, aku tahu kau masih bersedih dengan kepergian ayahmu. Tapi kita harus melanjutkan hidup.”

Snow White memilih untuk menghirup tehnya dalam diam. Merasa tidak nyaman.

“Kesedihan telah mengakibatkan kau begitu kurus, puteriku. Dan aku tahu, aku terlalu keras kepadamu. Bekerja sebagai pelayan dan hidup sederhana. Kau tentu merasa menderita dan membenciku, bukan?” Grunhilde memasang wajah sedih dan terluka.

Snow White menggeleng pelan, “Bukan seperti itu. Aku sangat senang anda menyuruhku melakukan semua tugas ini. Aku jadi menyadari betapa aku terlalu dimanja oleh ayaku dan tidak bisa memahami penderitaan rakyatku yang miskin.”

Grunhilde mendesah, “Terima kasih sayangku. Tapi aku bisa melihat kau sangat kurus sekarang,”

“Aku tahu! Mungkin berlibur sejenak dari tugasmu akan membuatmu baikan. Tidakkah kau pikir begitu?” Grunhilde berseru semangat sementara Snow White hanya terdiam, tidak yakin harus menjawab apa.

“Apa kau pernah mendengar rumor mengenai pohon apel di hutan bagian barat?” Grunhilde kembali melanjutkan, mengacuhkan sikap dian Snow White.

Snow White mengangguk, ia pernah mendengar rumor yang mengatakan di bagian barat hutan terdapat sebatang pohon apel yang menghasilkan buah apel yang ranum dan harum. Konon apel itu sangat manis bagaikan madu dan memiliki khasiat membuat wajah cerah bagi para wanita. Tentu saja apel-apel ini adalah incaran favorit para gadis-gadis dan para wanita. Sayangnya karena sangat sulit menemukan pohonnya akhirnya buah apel tersebut juga sangat mahal.

“Bagaimana kalau kau berjalan-jalan ke hutan barat itu? Sekedar untuk beristirahat, beruntung kalau kau bisa menemukan buah apel itu,” Grunhilde mengusulkan dengan bersemangat.

“Tidak…Ratu… kurasa…”

“Tidak, tidak. Kau perlu beristirahat dan menghirup udara segar! Kau sangat kurus puteriku, mengerikan sekali. Berjalan-jalan tentu akan membuatmu lebih sehat.” Grunhilde tidak menanggapi keberatan Snow White.

“Akan kusuruh seorang pengawal menemanimu ke hutan barat. Ini pasti akan jadi perjalanan yang menyenangkan.” Grunhilde terus mengoceh, sementara Snow White tidak bisa mengucapkan apapun.

.

.

.

Disinilah Snow White berada, menggunakan gaun sederhana dengan jubah bertudung miliknya, tak lupa tas kecil berisi minuman dan sedikit bekal makanan selama perjalanan. Seorang pengawal pria bertubuh tegap dan kaku setia menemani Snow White. Mereka sedang berjalan di hutan barat. Sebenarnya hutan barat tidak terlalu jauh dari istana, hanya saja hutan itu sangat luas sehingga jika tidak terlalu penting para penduduk desa enggan mengunjungi hutan barat. Kecuali, tentu saja, kalau yang ingin mereka cari adalah apel berkhasiat itu.

Snow White melirik pengawal yang menemaninya. “Kau membawa terlalu banyak senjata,”

Pengawal tersebut menoleh kepada Snow White dan memandang sejata miliknya. “Hanya berjaga-jaga dari bahaya. Anda tahu kan Nona, hutan barat sangat luas.” Pengawal itu menyentuh kedua pedangnya dengan sekejap.

“Kau tampak tidak nyaman?” Snow White menatap pengawal itu yang merasa gelisah dengan baju zirahnya.

“Saya kepanasan,” pengawal itu menjawab sekenanya.

Snow White menghentikan langkahnya, mengambil dua potong kue dari dalam tasnya dan menawarkan satu kepada pengawal tersebut. Sang pengawal menggeleng, “Tidak, terima kasih.”

Snow White menggigit kue miliknya dan memasukkan potongan yang lain ke dalam tasnya, memandang pengawal itu dengan terperinci, atas dan bawah. “Kau bukan pengawal kerajaan, kan?”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Semua pengawal kerajaan selalu berbicara dengan hormat padaku. Mereka selalu memanggilku Tuan Puteri,”

“Kalau begitu maafkan saya, Tuan Puteri. Hamba adalah orang baru,”

“Dan itu yang membuatmu semakin aneh. Semua pengawal baru akan diajarkan bagaimana menggunakan baju zirah secara nyaman dan akan diajarkan untuk hormat kepadaku dan Yang Mulia Ratu,” Snow White beranalisis.

“Kesimpulan anda?”

“Kau bukanlah pengawal kerajaan.”

Suasana hening. Sang pengawal menatap Snow White tajam, begitu pula sebaliknya.

“Apa yang kau inginkan?” Akhirnya pertanyaan itu dilontarkan.

Pengawal itu hanya mendesah, “Kau tentu tahu kan?”

“Kau berusaha membunuhku!”

Snow White bertindak cepat. Gadis itu mengambil batang pohon terdekat yang ada di tanah dan memukulkannya kepada pengawal itu. Pengawal tersebut terjatuh, merasa kesakitan tapi tidak sampai pingsan. Snow White memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dari sana.

Pengawal itu berusaha mengumpulkan tenaganya terlebih dahulu dan kemudian berlari untuk mengejar Snow White. Akan tetapi alangkah terkejutnya pengawal itu, Snow White tidak berlari menjauh darinya tetapi ia sedang menulis surat dengan santai.

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau lihat sendiri kan? Aku sedang menulis surat untuk Ratu,”

“Kau tahu kan siapa yang memerintahkanku untuk membunuhmu?” ejek sang pengawal.

“Aku tahu,” Snow White masih terus menulis suratnya. “Tapi kupikir lebih baik aku tetap menulis surat untuknya. Meminta maaf atas semua kesalahanku.”

“Kau membawa alat tulis ke tengah hutan ini?” ejek sang pengawal yang sudah menarik pisau kecil miliknya.

“Aku sudah curiga sejak ia menyuruhku berjalan-jalan ke hutan.” gumam Snow White.

“Kau sudah tahu? Dan kau masih mau pergi ke hutan bersamaku?”

Snow White tidak menjawab dan terus menulis. Gadis itu mengakhiri goresan pena bulu miliknya, melipat surat itu dan menyerahkannya kepada si pembunuh. Pria itu melirik Snow White sekilas, menyentakkan surat itu hingga terbuka dan membacanya sekejap. Tak lama ia mendengus meremehkan.

“Kau serius menulis surat ini?”

“Berikan saja kepada Yang Mulia Ratu,” Snow White memasang wajah cemberut.

“Aku harus membawa jantungmu,”

Snow White mengangguk maklum, “Lakukan apa yang harus kau lakukan,”

Gadis itu memandang sekelilingnya dan menutup matanya secara pasrah. Sang pembunuh mencabut pisau miliknya, bersiap untuk menusuk jantung Snow White.

Pisau itu pun mengayun cepat.

Snow White mendengarkan bunyi pisau yang diayunkan, akan tetapi ia tidak merasa sakit. Gadis itu membuka matanya dan menatap heran, pembunuh itu malah menebas rumput dan bukan dirinya.

“Apa yang-“

“Bawa ini bersamamu, kalau kau kesulitan dalam hutan ini tiuplah batang rumput ini. Bunyinya akan memanggil kawan-kawanku dan mereka akan membantumu,” Pembunuh itu malah mengulurkan batang rumput yang cukup besar yang dilubangi di beberapa tempat.

“Aku tak paham, kupikir kau-“

“Pergi!”

Tanpa banyak bicara Snow White berlari dari tempat itu, menggenggam batang rumput yang diberikan kepadanya. Gadis itu berusaha menjauh dari istana dan tidak menengok ke belakang.

.

.

.

Grunhilde terduduk di singgasananya, menunggu dengan angkuh pembunuh yang menyamar menjadi pengawal kerajaan. Pembunuh itu memegang sebuah kotak kayu yang berukuran sedang dengan hati-hati.

“Kau telah melaksanakan tugasmu dengan baik?”

Pembunuh itu hanya diam, mengulurkan kotak kayu itu kepada Grunhilde. Grunhilde membuka kotak kayu itu, menatap jantung yang terletak di dalamnya.

“Aku telah melaksanakan tugas darimu. Sekarang ijinkan aku pergi.”

“Buru-buru sekali. Tidakkah kau mengiginkan emas bayaranmu?”

Sang pembunuh merasa tidak nyaman, “Membunuh seorang gadis, terutama seorang putri ternyata tidak semenarik yang aku duga.” Sang pembunuh membalikkan punggungnya dan bersiap pergi.

“Apakah kau benar-benar yakin ini adalah Jantung Snow White?”

Grunhilde bangkit dari singgasananya, suaranya menggelegar marah, matanya menatap tajam. Sang pembunuh berusaha tenang.

“Itu jantung miliknya.“

“Bodoh!” Kotak kayu itu menghantam dinding batu tepat di belakang sang pembunuh. Rupanya Grunhilde melemparnya karena yang terlihat di lantai batu sekarang hanyalah serpihan kotak kayu yang rusak dan sebuah jantung.

“Kau pikir kau bisa mengelabuiku? Grunhilde ini?” Grunhilde berjalan mendekati si pembunuh, sementara pembunuh itu hanya mampu menempelkan punggungnya di dinding batu. Ada aura yang gelap dan mencekam yang keluar dari diri Ratu sehingga sang pembunuh tak mampu bergerak apalagi mencabut senjatanya.

Grunhilde mencengkram rahang si pembunuh dengan kasar, “Dimana kau meninggalkan gadis itu?”

“Aku tak tahu maksudmu!”

“Dimana. Gadis. Itu?” Suaranya Grunhilde rendah, tatapan matanya berbahaya.

“Sudah kubilang-“

Ucapan sang pembunuh terhenti. Grunhilde menggunakan kekuatan sihir miliknya untuk memojokkan si pria pembunuh. Seakarang pria itu tercekik dan sangat sulit untuk bernapas.

“Aku tak akan mengulangi pertanyaanku lagi. Jawab!”

Wajah si pembunuh memutih, mulutnya komat-kamit, “Di… hutan… barat…,”

Grunhilde menembuskan tangannya ke dada pembunuh itu, si pembunuh hanya bisa melotot kaget. Dengan cepat Grunhulde menarik jantung si pembunuh. Ia tidak sempat merasakan apapun selain rasa kaget, berikutnya pandangannya menggelap dan tubuhnya merosot jatuh. Ia sudah tak bernyawa.

“Dasar bodoh!”

“Sekarang, apa yang akan kulakukan?”

Grunhilde berjalan diantara rak buku di kamarnya, menatap judul buku tersebut, meraihnya kemudian meletakkannya kembali ke tempatnya.

“PuterikKau telah melakukan hal yang tercela, puteriku! Membunuh seseorang yang tak ada hubungannya!”

Grunhilde tertawa lebar, “Kata-kata itu juga berlaku untukmu, Ibuku sayang!”

“Kau sudah memiliki kekuasaan penuh akan kerajaan. Apalagi yang kau cari?”

“Persis, itulah yang kucari. Pembalasan dendam, Ibuku tersayang. Aku mencari hal itu.”

“Apa gunanya membalaskan dendammu pada seorang gadis kecil?”

“Kau tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku Ibuku tersayang. Bukankah saat kau membunuh kekasihku kau ada disana? Menatap Edwardku tersayang dengan sinis meregang nyawa sementara aku memohon padamu untuk tidak membunuhnya? Ah ini dia!“

Grunhilde menemukan apa yang dicarinya, sebuah buku tebal berwarna hitam dengan bercak-bercak merah. Tidak ada judul di sampul buku itu akan tetapi kertas buku itu sudah kuning dan saling melekat, Grunhilde membukanya dengan hati-hati.

“Baiklah, jadi apa yang akan kugunakan? Oh, kutukan dalam buku ini sangat mengerikan!” Grunhilde memasang wajah semangat.

“Tentu saja, gadis seumurannya biasanya sangat menyukai pita yang cantik. Bagaimana menurutmu, Ibuku tersayang?” Akan tetapi sosok dalam cermin itu hanya terisak.

“Kuanggap kau setuju.”

Grunhilde mendekati perapiannya, kuali menggelegak menyala. Sang Ratu memasukkan bahan-bahan yang misterius, menghasilkan gelegak kuali yang menyala dan asap kuali berwarna abu menyeramkan. Tak lama kemudian cairan dalam kuali itu semakin lama semakin menyusut, meninggalkan sebuah pita cantik berwarna hijau daun di dasar kuali. Pita itu berkelap-kelip indah merayu gadis manapun untuk menggunakannya di kepala mereka.

“Sempurna,” bisik Grunhilde senang.

.

.

.

Keesokan paginya Grunhilde keluar dari istananya. Ia menyamar menjadi seorang nenek berwajah ramah, berjalan pelan-pelan menuju hutan barat dimana Snow White tinggal bersama pra kurcaci. Bukan hal yang sulit baginya untuk menemukan keberadaan gadis itu dengan kemampuan sihir miliknya. Di tangannya terdapat keranjang kecil berisi berbagai macam pita berwarna cantik, akan tetapi pita terkutuk itu diletakkannya di tumpukan paling atas.

Hari baru masuk siang ketika Grunhilde sampai di sebuah pondok kayu kecil dalam hutan. Dengan pelan Grunhilde mengetuk pintu pondok itu.

“Pita yang cantik, apakah ada yang mau membeli pita yang cantik?” Grunhilde berusaha mengeluarkan suara ramah yang menyenangkan. Cukup sulit juga mengingat selama ini ia selalu berbicara dengan nada datar yang dingin.

Tak ada jawaban. Grunhilde bermaksud mengetuk kembali pintu tersebut akan tetapi pintu itu membuka sedikit. Snow White mengintip dari dalam, matanya menatap penuh selidik.

“Ada perlu apa, Nek?”

“Hamba hanyalah seorang nenek tua yang mencari nafkah. Barangkali nona cantik bersedia membeli barang satu atau dua pita cantik milik hamba ini?”

Snow White melangkah keluar dan mengintip sekeranjang penuh pita cantik milik Grunhilde. Tatapan mata gadis itu kepingin, akan tetapi wajahnya sedih.

“Aduh sayang sekali, saya tidak memiliki uang.” Snow White bergumam getir.

“Begitu.” Grunhilde berpura-pura sedih. “Kalau begitu, setidaknya nona cantik ambillah satu pita milik hamba ini. Sebagai penyemangat oleh hamba bahwa pita hamba laku walau hanya satu.”

Snow White menolak, akan tetapi Grunhilde memaksa dan memelas karena itu Snow White terpaksa menerima pita tersebut. Gadis itu menerima pita yang dikatakan sebagai pita paling cantik dari semua pita milik nenek tersebut. Saat Snow White memasang pita itu di kepalanya, gadis itu merasa pusing,mendadak pandangannya menggelap dan napasnya terhenti.

Grunhilde tertawa keji, “Selamat tidur untuk selamanya, Snow White.”

.

.

.

PRANGG!

Grunhilde terengah, kamarnya berantakan sementara semua pajangan perak dan emasnya pecah berkeping-keping. Sang Ratu telah melepaskan samarannya dan bermaksud melihat keadaan Snow White dari bola kristal miliknya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ia bahwa Snow White telah kembali hidup. Kutukannya telah gagal.

“Gadis tolol itu! Bagaimana mungkin ia bisa selamat?!”

“Sudah kukatakan Grunhilde. Jangan melakukan hal yang sia-sia!”

“Diam ibuku tersayang! Diam!”

“Meyerahlah.”

“Tidak! Aku tidak akan menyerah! Pasti ada caranya! Pasti!”

Grunhilde meraih kembali buku berisi kutukannya, meneliti dan membalik lembar buku tersebut. Matanya menelusuri isi buku itu dengan cepat dan berhenti di halaman yang dirasanya cocok. Tubuhnya langsung mengarah ke kuali yang menggelegak, melemparkan beberapa bahan ramuan secara kasar akan tetapi dengan urutan tertentu. Kuali ramuan tersebut memendarkan warna hijau tua yang menyilaukan, asapnya membumbung tinggi. Perlahan ramuan tersebut makin menyusut, meninggalkan sebuah benda di dasar kuali. Sebuah sisir rambut yang indah. Grunhilde memungut sisir itu.
“Kita akan lihat, apakah gadis itu mampu menghindar dari kutukan ini?”

.

.

.

Grunhilde frustasi. Amarahnya meledak. Saat ini kamarnya telah hancur berantakan. Halaman buku terlepas dari sampul bukunya, peralatan perak dan emas pecah berkeping, menyisakan pecahannya yang tajam di lantai batu yang dingin. Satu hal bisa dipastikan, kutukan sisir itu kembali gagal.

“Gadis itu! Aku akan membunuhnya! Pasti akan kubunuh! Aku hanya perlu mencari caranya saja!” gumam Grunhilde berkali-kali. Tak dipedulikan rambutnya yang kusut masai beserta gaunnya yang sudah berantakan.

Sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu kamarnya.

“Sudah kukatakan aku tak mau diganggu!” sembur Grunhilde.

“Ma-maafkan saya Yang Mulia. Akan tetapi ada seseorang yang ingin menemui anda. Pangeran yang kemarin-” cicit sang pelayan malang itu.

Grunhilde menatap tajam pelayan itu. “Usir dia!”

“Ta..tapi…”

“Kubilang usir-“ saat itu Grunhilde seakan tersadar, bagaikan air dingin yang langsung menyiram kepalanya. “Apakah pangeran itu bertanya sesuatu mengenai Snow White?” Grunhilde menyambar pelayan itu, mengguncang tubuhnya.

“Be-benar Yang Mulia. Pangeran itu juga bertanya apakah ia bisa bertemu dengan Tuan Puteri Snow White.”

Grunhilde melepaskan genggamannya dari pegangan sang Ratu. Tubuhnya gemetar ketakutan dan bersender ke dinding batu. Grunhilde tampak berpikir keras sebelum akhirnya tertawa keras.

“Tentu saja! Aku bisa memanfaatkan situasi ini!”

Grunhilde menatap kembali pelayan tersebut, yang ditatap hanya bisa gemetar ketakutan. “Katakan kepada pangeran itu, aku menerimanya di aula istanaku.”

Sang pelayan mengangguk paham, hendak pergi dengan segera dari sana akan tetapi Ratu memanggilnya kembali. “Siapkan makanan yang lezat untuk pangeran kita itu. Kita tak bisa membiarkannya kelaparan, bukan?”

Grunhilde tersenyum. Senyum yang licik.


A/N: Yaaa…..apdet lagi ceritanya. Sorry ya kalau kesannya buru-buru, soalnya bulan puasa ini lagi banyak banget target yang dikejar. Tentu aja selain target amaliyah punya target menulis yang lain buat dikejar. Beberapa hari ini masih agak rempong ngatur waktunya…tapi seiring jalan moga-moga bisa jalan antara target amalan dan target nulis. Amin.

3 thoughts on “A Queen With A Broken Heart

Leave a comment